Refleksi kegiatan pembelajaran tatap muka terbatas, yang baru hitungan hari, menjadi menarik, hal ini yang memicu penulis memperhatikan bagaimana pengaturan sesi mengajar, guru yang belum pernah mengajar dengan model pembelajaran dengan protol kesehatan, menghindari kegiatan berkerumun, bagaimana dengan diskusi kelompok ?. Sementara kompetensi dasar, sebagai sarana pembelajaran meningkatkan kemandirian belajar, berkolaborasi sebagai tujuan agar siswa selat dan bahagia.  Siswa dan orang tua yang satu sisi butuh pembelajaran karena telah jemu belajar daring, sisi lain khawatir terpapar covid-19 yang masih menghantui kita semua.

Kejenuhan belajar para siswa dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) terjawab dengan meredanya kasus konfirmasi covid-19. sorak gempita para siswa menyambut pembelajaran tatap muka terbatas (PTM )      menjadi hadiah terbesar bagi kita insan pendidik, siswa dan orang tua, meski tidak dipungkiri rasa was was masih menyelimuti mereka, pasalnya takut terpapar covid-19. meski protokol kesehatan secara ketat diberlakukan di sekolah.

Ramai celoteh siswa tentang "selamat tinggal zoom dan goegel meet" di group kelas mereka. Penulis hanya balas dengan acungan jempol, meski menyadari PTM yang hanya 2 jam tiap sesi (ada tiga sesi) dengan populasi 50% siswa perkelas dan tiap sesi kelas akan berbeda. sesi 1 jam 7.00 s/d 9.00, sesi 2 dengan siswa yang berbeda 10.00 s/d 12.00 dan dengan siswa yang berbeda pula  13.00 s/d 15.00. membuat ekspektasi tentang belajar tatap muka benar-benar tak sesuai dengan harapan dan pikiran para siswa.

Kita sadari kewajaran mereka menggunakan PJJ  tidak terlalu disukai, baik sinkron maupun ansinkron, papan tulis digital "jamboard" terbatas karena menggunakan HP dan  yang  amat memberatkan, para siswa paket data internet, keterbatasan device yang digunakan, apa lagi satu device tidak sesuai speck, wah ngepris deh, sehingga komunikasi terganggu, belum kendala jaringan, lengkap sudah penderitaan PJJ dan dari satu kelas yang melakukan pembelajaran daring secara konsisten tidak lebih dari 65 %.

Disisi lain aplikasi facebook dalam sehari saja shut down saja rugi (kesempatan dapat untung) 99,5 trilyun lenyap dan harga sahamnya turun 5% ujar Mark Zuckerberg.  Apa mereka lupa selama pandemi, berapa trilyun keuntungan yang mereka nikmati.

Permasalahannya adalah siapkah guru dan siswa dengan kebiasaan baru?, bagaimana psikologi guru dan siswa melaksanakan PTM ?

Kala terkendalinya covid-19, pemerintah dalam hal ini tim satgas covid-19, memerintahkan pembelajaran tatap muka terbatas, dengan alasan kekhawatiran para siswa tertinggal pendidikannya (learning loss). dan mentri Pendidikan Riset dan Teknologi, menyatakan saat ini 80 sampai dengan 85 % orang tua mendukung PTM. disamping itu dampak  psikis siswa juga menjadi alasan mas mentri mengapa PTM dilaksanakan.

Hal senada dikatakan oleh menko Maritim dan Infestasi Luhut Binsar Panjaitan, yang berujar " bahwa PTM  ada tantangan di sana sini yes, tapi kita lebih takut dan ngeri lagi, kalau  generasi yang akan datang tidak berpendidikan dan bodoh". ini yang menjadi dasar PTM harus dilaksanakan dan mengklaim pihak kemenkes dan kemdikbud ristek telah berupaya dengan baik menyiapkan meski dia tidak menampik bahwa PTM juga beresiko.  

Menyambut pembelajaran tatap muka terbatas bagi sekolah sejalan, sebab guru secara psikologi juga ingin bertemu langsung dengan siswanya. meski kita menimbang PTM memiliki manfaat dan mudarat, namun jika kita berfikir sehat, insya Allah sehat, sebab semua bergantung pada apa yang difikirkan. Kebiasaan baru akan membuat kita melatih kebiasaan baru.

PTM paling diingikan oleh kelas akhir ( 9, 12) sebab mereka baru belajar sekitar 6 bulan di kelas (7, 10), kemudian ada pandemi covid-19, sementara siswa akan meninggalkan sekolahnya.  Nilai raport siswa saat pandemi covid-19 adalah nilai "kemanusiaan" sebab dengan alibi pandemi guru tidak dapat mengukur secara objektif, sikap, pengetahuan dan keterampilan secara komprehensif.

kurang lebih dua tahun siswa tidak mengenal lingkungan sekolahnya, membuat euphoria pastinya akan marak, meski ada satgas covid-19 yang dibentuk dari petugas siswa  (anggota OSIS), namun mereka juga tidak mungkin tegas sebab mereka sejawat, bahkan guru yang tidak melaksanakan daring dengannya tidak dikenalnya, meski dia tahu gurunya. hal ini yang dikhawatirkan, bukan terpapar di klaster sekolah, namun terpapar ketika siswa dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah.

kebiasaan siswa terburu-buru kesekolah sebelum pandemi, takut terlambat karena bermacet-macet ria, dua tahun lebih sudah terlupakan, belajar sembari rebahan, kegiatan PJJ, off camera, off audio, ketika dipanggil guru tidak ada respon karena ketiduran. semua itu menjadi catatan berharga ketika PJJ. alasan siswa ketiduran pagi siang hari sebab malam hari paketan internet lebih murah bahkan gratis. sehingga pola kehidupan siswa rata-rata malam jadi siang, siang jadi malam. Situasi tidak boleh keluar rumah karena pandemi sangan mendukung pola kehidupan siswa di atas, lebih-lebih orang tua sibuk di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan ekonomi saat pandemi.

ketika PTM, siswa menjadi "kaget" bangun pagi, segera kesekolah agar tidak terlambat, lebih-lebih harus patuh dengan protokol kesehatan, lebih-lebih belajar hanya durasi 2 jam tanpa ke kantin. secara psikologi ini akan jadi tantangan pendidik selagi siswa belum "move on", guru menghindari marah, yang malah menurunkan imunnya yang akan berbahaya, sementara pembelajaran yang berat, di laboratorium di lapangan olah raga belum diperbolehkan, masa transisi yang sulit bagi siswa dan guru yang kelembaban tinggi (kekeh dengan kebiasaannya).

tak bisa dipaksakan dalam belajar, saat siswa hadir di sekolah, membuat pendidikan karakter, disiplin, kejujuran, kerja keras, mandiri menjadi kendala tersendiri. meski ini akan menjadi indah pada akhirnya. berfikir belajar mengajar seperti sebelum pandemi covid-19 adalah kediscayaan.

Hotel bigland Bogor, tulisan ini disusun saat penulis mengikuti koordinasi pelatih ahli pada program sekolah pengerak dan pendalaman modul pada program guru pengerak. semoga Allah membimbing kita ke arah kepraktik baik pada siswa dan ekosistem pendidikan, dan meyakini pandemi ini akan membawa hikmat yang besar buat kita.